Free Blooming Purple Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com

Jumat, 20 Januari 2012

Bagaimana Anak Bisa Mirip Dengan Orang Tuanya??

Jika kita baca ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya di bidang biologi dan kesehatan, akan didapatkan beberapa teori yang mencoba menjawab permasalahan di atas. Namun, tahukah Anda bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas ? Saya ajak Anda – para Pembaca budiman – untuk memperhatikan beberapa hadits berikut :

1. Hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu.

Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang permasalahan anak. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
“Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah” [HR. Muslim no. 315, Al-Baihaqiy 1/169, Ibnu Khuzaimah no. 232, dan yang lainnya].

2. Hadits Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.
Dari Anas : Bahwasannya ‘Abdullah bin Salaam mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tiba di Madinah. Ia pun bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan bertanya kepada engkau atas tiga permasalahan yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bertanyalah”. ‘Abdullah bin Salaam melanjutkan : “Apakah tanda hari kiamat untuk pertama kali ? Makanan apakah yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga ? Dan dari mana datangnya sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Baru saja Jibril ‘alaihis-salaam mengkhabarkan kepadaku tentang jawaban ketiga hal tersebut”. Beliau melanjutkan : “………….Adapun sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya : Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, maka anak (yang lahir) akan mirip ayahnya. Namun apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, maka anak (yang lahir) akan mirip ibunya”. ‘Abdullah bin Salaam kemudian berkata : “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan (aku bersaksi) bahwa engkau adalah utusan Allah” [HR. Al-Bukhari no. 3329 , Ahmad 3/108, ‘Abdun bin Humaid no. 1389, Ibnu Abi Syaibah 13/125, dan yang lainnya].

3. Hadits Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhaa.
Bahwasannya Ummu Sulaim pernah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami oleh laki-laki. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila ia melihat yang demikian, hendaklah ia mandi”. Ummu Sulaim berkata (kepada perawi) : “Sebenarnya aku malu menanyakan hal tersebut”. Ia kembali bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap dirinya” [HR. Muslim no. 311].

4. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah seorang wanita harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Maka ‘Aisyah berkata kepadanya : “Taribat yadak ! (sebuah kalimat pengingkaran atas pertanyaan wanita tadi)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia. Dari mana datangnya penyerupaan bila tidak berasal dari yang demikian ? Apabila air mani wanita mengalahkan/mengungguli air mani laki-laki, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ibunya. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ayahnya” [HR. Muslim no. 314].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Yang dimaksud dengan al-‘ulluw adalah as-sabq (mendahului), karena setiap yang mendahului berarti ia telah mengungguli/mengalahkan dalam arti maknawi. Adapun hadits Tsauban yang diriwayatkan oleh Muslim : ‘Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah’ ; maka dalam hadits tersebut terdapat hal yang sulit dipahami (musykil). Karena, apabila air mani laki-laki yang mendahului, maka hal itu berkonsekuensi anak yang terlahir akan menyerupai keluarga suami dan berjenis kelamin laki-laki. Demikian pula jika sebaliknya. Sementara kenyataan yang ada, kadangkala anak laki-laki mirip dengan keluarga dari pihak ibu, bukan dari pihak keluarga ayah.

Demikian juga sebaliknya. Al-Qurthubi berkata :

“Dengan demikian jelaslah bahwa maksud dari kata al-‘ulluw dalam hadits Tsauban adalah as-sabq (mendahului)”. Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Menurutku, demikianlah makna kata al-‘ulluw yang tercantum dalam hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Tsaubaan, kata al-‘ulluw tetap ditafsirkan sesuai dengan dhahirnya. Dengan demikian, as-sabq (mendahului) merupakan penentu jenis kelamin laki-laki atau wanita, sedangkan al-‘ulluw (mengalahkan/dominansi) merupakan tanda penyerupaan/kemiripan.

Berarti tidak ada lagi kesulitan dalam memahami makna hadits. Seakan-akan maksud al-‘ulluw yang merupakan sebab penyerupaan/kemiripan karena banyaknya air mani yang keluar sehingga membanjiri yang lainnya.

Dengan keadaan ini, maka akan tercapailah penyerupaan/kemiripan. Perkara ini ada enam keadaan :

1. Apabia air mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului air mani wanita, maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya.

2. Sebaliknya dari yang di atas (yaitu : apabila air mani wanita lebih banyak dan keluar mendahului air mani laki-laki, maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya).

3. Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, namun air mani wanita lebih banyak; maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya.

4. Sebaliknya dari yang di atas (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, namun air mani laki-laki lebih banyak; maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya).

5. Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah laki-laki tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya.

6. Sebaliknya (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah wanita tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya).
[Fathul-Baariy, 7/273].

Senin, 16 Januari 2012

Dokumen Rahasia Syiah Itsna Asyariyyah


Inilah Dokumen Rahasia sekte agama Syiah, tentang misi jangka panjang mereka (50 tahun kedepan), untuk menegakkan kembali dinasti Persia yang telah runtuh oleh Islam berabad-abad lamanya, sekaligus membumi-hanguskan negara-negara Ahlus Sunnah, musuh bebuyutan mereka. Dokumen ini disebarkan oleh Ikatan Ahlus Sunnah di Iran, begitu pula majalah-majalah di berbagai negara Ahlus Sunnah (Islam), termasuk diantaranya Majalah al-Bayan, edisi 123, Maret 1998.
Karena naskah yang tersebar adalah naskah dalam bahasa arab, maka kami terjemahkan ke dalam bahasa indonesia, agar orang yang tidak mampu berbahasa arab pun bisa memahami isi naskah tersebut.
Sekarang kami persilahkan Anda membaca terjemahannya:
((Bila kita tidak mampu untuk mengusung revolusi ini ke negara-negara tetangga yang muslim, tidak diragukan lagi yang terjadi adalah sebaliknya, peradaban mereka -yang telah tercemar budaya barat- akan menyerang dan menguasai kita.
Alhamdulillah, -berkat anugerah Allah dan pengorbanan para pengikut imam yang pemberani- berdirilah sekarang di Iran, Negara Syiah Itsna Asyariyyah (syiah pengikut 12 imam), setelah perjuangan berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, -atas dasar petunjuk para pimpinan syi’ah yang mulia- kita mengemban amanat yang berat dan bahaya, yakni: menggulirkan revolusi.
Kita harus akui, bahwa pemerintahan kita adalah pemerintahan yang berasaskan madzhab syi’ah, disamping tugasnya melindungi kemerdekaan negara dan hak-hak rakyatnya. Maka wajib bagi kita untuk menjadikan pengguliran revolusi sebagai target yang paling utama.
Akan tetapi, karena melihat perkembangan dunia saat ini dengan aturan UU antar negaranya, tidak mungkin bagi kita, untuk menggulirkan revolusi ini, bahkan bisa jadi hal itu mendatangkan resiko besar yang bisa membahayakan kelangsungan kita.
Karena alasan ini, maka -setelah mengadakan tiga pertemuan, dan menghasilkan keputusan, yang disepakati oleh hampir seluruh anggota-, kami menyusun strategi jangka panjang 50 tahun, yang terdiri dari 5 tahapan, setiap tahapan berjangka 10 tahun, yang bertujuan untuk menggulirkan revolusi islam ini, ke seluruh negara-negara tetangga, dan menyatukan kembali dunia Islam (dengan men-syi’ah-kannya).
Karena bahaya yang kita hadapi dari para pemimpin Wahabiah dan mereka yang berpaham ahlus sunnah, jauh lebih besar dibandingkan bahaya yang datang dari manapun juga, baik dari timur maupun barat, karena orang-orang Wahabi dan Ahlus Sunnah selalu menentang pergerakan kita. Merekalah musuh utama Wilayatul Fakih dan para imam yang ma’shum, bahkan mereka beranggapan bahwa menjadikan faham syi’ah sebagai landasan negara, adalah hal yang bertentangan dengan agama dan adat, dengan begitu berarti mereka telah memecah dunia Islam menjadi dua kubu yang saling bermusuhan.
Atas dasar ini:
Kita harus menambah kekuatan di daerah-daerah berpenduduk Ahlus Sunnah di Iran, khususnya kota-kota perbatasan. Kita harus menambah masjid-masjid dan husainiyyat kita di sana, disamping menambah volume dan keseriusan dalam pengadaan acara-acara peringatan ritual syi’ah.
Kita juga harus menciptakan iklim yang kondusif, di kota-kota yang dihuni oleh 90-100 persen penduduk Ahlus Sunnah, agar kita bisa mengirim dalam jumlah besar kader-kader syi’ah dari berbagai kota dan desa pedalaman, ke daerah-daerah tersebut, untuk selamanya tinggal, kerja, dan bisnis di sana.
Dan merupakan kewajiban negara dan instansinya, untuk memberikan perlindungan langsung kepada mereka yang diutus untuk menempati daerah itu, dengan tujuan agar dengan berlalunya waktu, mereka bisa merebut jabatan pegawai di berbagai kantor, pusat pendidikan dan layanan umum, yang masih di pegang oleh kaum Ahlus Sunnah.
Strategi yang kami buat untuk pengguliran revolusi ini, -tidak seperti anggapan banyak kalangan- akan membuahkan hasil, tanpa adanya kericuhan, pertumpahan darah, atau bahkan perlawanan dari kekuatan terbesar dunia. Sungguh dana besar yang kita habiskan untuk mendanai misi ini, tak akan hilang tanpa timbal-balik.
Teori Memperkuat Pilar-pilar Negara:
Kita tahu, bahwa kunci utama untuk menguatkan pilar-pilar setiap negara, dan perlindungan terhadap rakyatnya, berada pada tiga asas utama:
Pertama: Kekuatan yang dimiliki oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kedua: Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh para ulama dan penelitinya.
Ketiga: Ekonomi yang terfokus pada kelompok pengusaha pemilik modal.
Apabila kita mampu menggoncang pemerintahan, dengan cara memunculkan perseteruan antara ulama dan penguasanya, atau memecah konsentrasi para pemilik modal di negara itu, dengan menarik modalnya ke negara kita atau negara lain, tak diragukan lagi, kita telah menciptakan keberhasilan yang gemilang dan menarik perhatian dunia, karena kita telah meruntuhkan tiga pilar tersebut.
Adapun rakyat jelata setiap negara, yang berjumlah rata-rata 70-80 persen, mereka hanyalah pengikut hukum dan kekuatan yang menguasainya. Mereka disibukkan oleh tuntutan hidupnya, untuk mencari rizki, makan dan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka akan membela siapa pun yang sedang berkuasa. Dan untuk mencapai atap setiap rumah, kita harus menaiki tangga utamanya.
Tetangga-tetangga kita dari kaum Ahlus Sunnah dan Wahabi adalah: Turki, Irak, Afganistan, Pakistan, dan banyak negara kecil di pinggiran selatan, serta gerbangnya negara teluk persia, yang tampak seakan negara-negara yang bersatu, padahal sebenarnya berpecah-belah. Daerah-daerah ini, adalah kawasan yang sangat penting sekali, baik di masa lalu, maupun di masa-masa yang akan datang. Ia juga ibarat kerongkongan dunia di bidang minyak bumi. Tidak ada di muka bumi ini kawasan yang lebih sensitif melebihinya. Para penguasa di kawasan ini memiliki taraf hidup yang tinggi, karena penjualan minyak buminya.
Kategori Penduduk di Kawasan Ini
Penduduk di kawasan ini terbagi dalam tiga golongan:
Pertama: Penduduk baduwi dan padang pasir, yang telah ada sejak beratus-ratus tahun lalu.
Kedua: Pendatang yang hijrah dari berbagai pulau dan pelabuhan, yang telah hijrah sejak zaman pemerintahan Syah Isma’il as-Shofawi, dan terus berlangsung hingga zamannya Nadirsyah Afsyar, Karim Khan Zind, Raja al-Qojar, dan keluarga al-Bahlawi. Dan telah banyak perjalanan hijrah dari waktu ke waktu, sejak mulainya revolusi Islam.
Ketiga: Mereka yang berasal dari negara arab lainnya, dan kota-kota pedalaman Iran.
Adapun lahan bisnis, perusahaan ekspor impor dan kontraktor, biasanya dikuasai oleh selain penduduk asli. Sedangkan penduduk asli, kebanyakan mereka hidup dari menyewakan lahan dan jual-beli tanah. Mengenai para keluarga penguasa, biasanya mereka hidup dari gaji pokok penjualan minyak buminya.
Adapun kerusakan masyarakat, budaya, banyaknya praktik yang menyimpang dari islam, itu sangat jelas terlihat. Karena mayoritas penduduk negara-negara ini, telah larut dalam kenikmatan dunia, kefasikan dan perbuatan keji. Banyak dari mereka yang mulai membeli perumahan, saham perusahaan, dan menyimpan modal usahanya di Eropa dan Amerika, khususnya di Jepang, Inggris, Swedia, dan Swiss, karena kekhawatiran mereka akan runtuhnya negara mereka di masa-masa mendatang. Sesungguhnya dengan menguasai negara-negara ini, berarti kita telah menguasai setengah dunia.
Beberapa Tahapan Dalam Menggulirkan Revolusi Ini
Untuk menjalankan misi panjang 50 tahun ini, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah: memperbaiki hubungan kita dengan negara-negara tetangga, dan harus ada hubungan yang kuat dan sikap saling menghormati, antara kita dengan mereka. Bahkan kita juga harus memperbaiki hubungan kita dengan Irak, setelah perang berakhir dan Sadam Husein jatuh, karena menjatuhkan seribu kawan itu lebih ringan, dibanding menjatuhkan satu lawan.
Dengan adanya hubungan politik, ekonomi dan budaya antara kita dengan mereka, tentunya akan masuk sekelompok kader dari Iran ke negara-negara ini, sehingga memungkinkan kita untuk mengirim para duta secara resmi, yang pada hakekatnya adalah pelaksana program revolusi ini, selanjutnya kita akan tentukan misi khusus mereka saat menugaskan dan mengirimkannya.
Janganlah kita beranggapan bahwa 50 tahun adalah waktu yang panjang, karena kesuksesan langkah kita ini benar-benar membutuhkan perencanaan yang berkelanjutan hingga 20 tahun. Sungguh tersebarnya paham syi’ah, yang kita rasakan di banyak negara saat ini, bukanlah buah dari perencanaan 1 atau 2 hari.
Dulunya kita tidak memiliki seorang pun pegawai di negara manapun, apalagi kader dengan jabatan menteri, wakil negara dan presiden. Bahkan dulunya banyak kelompok, seperti Wahabiah, Syafi’iah, Hanafiah, Malikiah, dan Hanbaliah, memandang kita sebagai kelompok yang murtad dari Islam, sehingga pengikut mereka telah berkali-kali mengadakan pemusnahan kaum syi’ah secara massal. Memang benar kita tidak merasakan pahitnya hari-hari itu, tetapi nenek moyang kita pernah merasakannya. Kehidupan kita hari ini adalah buah dari gagasan, pemikiran dan langkah mereka. Mungkin juga kita tidak akan hidup di masa depan, akan tetapi revolusi dan madzhab kita akan tetap ada.
Untuk menunaikan misi ini, tidaklah cukup hanya dengan mengorbankan hidup, atau apapun yang paling berharga sekalipun, akan tetapi juga membutuhkan pemrograman yang telah matang dikaji.
Harus ada perencanaan untuk masa depan, walaupun untuk 500 tahun ke depan, apalagi hanya 50 tahun saja. Karena kita adalah pewaris berjuta-juta syuhada’, yang gugur di tangan setan-setan yang mengaku muslim, darah mereka terus mengalir dalam sejarah, sejak meninggalnya Rasul hingga hari ini. Dan cucuran darah itu tidak akan kering, sehingga setiap orang yang mengaku muslim, meyakini hak Ali dan keluarga Rasulullah, mengakui kesalahan nenek moyang mereka, dan mengakui syi’ah sebagai pewaris utama ajaran Islam.
Beberapa Tahapan Penting Dalam Perjalanan Misi Ini
Tahap Pertama (sepuluh tahun pertama):
Kita tidak ada masalah dalam menyebarkan madzhab syi’ah di Afganistan, Pakistan, Turki, Iran dan Bahrain. Karena itu, kita akan menjadikan tahapan sepuluh tahun kedua, sebagai tahapan pertama di 5 negara ini.
Sedangkan tugas para duta kita di belahan negara lain adalah tiga hal:
Pertama: Membeli lahan tanah, perumahan dan perhotelan.
Kedua: Menyediakan lapangan pekerjaan, kebutuhan hidup dan fasilitasnya kepada para pengikut paham syi’ah, agar mereka mau hidup di rumah yang dibeli, sehingga bertambah banyak jumlah penduduk yang sepaham dengan kita.
Ketiga: Membangun jaringan dan relasi yang kuat dengan para pemodal di pasar dagang, dengan para pegawai kantor, khususnya mereka yang menjabat sebagai kepala tinggi, dengan tokoh publik dan dengan siapapun yang memiliki hak keputusan penuh di berbagai instansi negara.
Di sebagian negara-negara ini, ada beberapa daerah, yang sedang dalam proyek pengembangan, bahkan di sana ada rencana proyek pengembangan untuk puluhan desa, kampung, dan kota kecil lainnya. Tugas wajib para duta yang kita kirim adalah membeli sebanyak mungkin rumah di desa itu, untuk kemudian dijual dengan harga yang pantas kepada orang yang mau menjual hak miliknya di pusat kota. Sehingga dengan langkah ini, kota yang padat penduduknya bisa kita rebut dari tangan mereka.
Tahap Kedua (sepuluh tahun kedua):
Kita harus mendorong masyarakat syi’ah untuk menghormati UU, taat kepada para pelaksana UU dan pegawai negara, serta berusaha mendapatkan surat ijin resmi untuk berbagai acara ritual syi’ah, pendirian masjid, dan husainiyyat. Karena surat ijin resmi tersebut, akan kita ajukan sebagai tanda bukti resmi di masa-masa mendatang untuk mengadakan berbagai acara dengan bebas.
Kita juga harus berkonsentrasi pada kawasan yang tinggi tingkat kepadatan penduduknya, untuk kita jadikan sebagai tempat diskusi tentang masalah-masalah (syiah) yang sangat sensitif.
Para duta syi’ah, -pada dua tahapan ini- diharuskan untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara yang ditempatinya, dengan memanfaatkan relasi atau hadiah yang sangat berharga sekalipun. Mereka juga harus mendorong para kadernya agar menjadi pegawai negeri, dan segera masuk -khususnya- dalam barisan militer negara.
Pada pertengahan tahap kedua: Harus dihembuskan -secara rahasia dan tidak langsung- isu bahwa ulama Ahlus Sunnah dan Wahabiah adalah penyebab kerusakan di masyarakat, dan berbagai praktek menyimpang syariat yang banyak terjadi di negara itu. Yaitu melalui selebaran-selebaran yang berisi kritikan, dengan mengatas-namakan sebagian badan keagamaan atau tokoh Ahlus Sunnah dari negara lain. Tak diragukan lagi, ini akan memprovokasi sejumlah besar rakyat negara itu, sehingga pada akhirnya mereka akan menangkap pimpinan agama atau figur Ahlus Sunnah yang dituduh itu, atau kemungkinan lain; rakyat negara itu akan menolak isi selebaran itu, dan para ulamanya akan membantahnya dengan sekuat tenaga. Dan setelah itu kita munculkan banyak huru hara, yang akan berakibat pada diberhentikannya penanggung jawab masalah itu, atau digantikannya dengan staf yang baru.
Langkah ini, akan menyebabkan buruknya kepercayaan pemerintah kepada seluruh ulama di negaranya, sehingga menjadikan mereka tidak bisa menyebarkan agama, membangun masjid dan pusat pendidikan agama. Selanjutnya pemerintah akan menganggap seluruh ajakan yang berbau agama sebagai bentuk pelanggaran terhadap peraturan negara.
Ditambah lagi, akan berkembang rasa benci dan saling menjauh antara penguasa dengan ulama di negara itu, sehingga Ahlus Sunnah dan Wahabiyah akan kehilangan pelindung mereka dari dalam, padahal tidak mungkin ada orang yang melindungi mereka dari luar.
Tahap Ketiga (sepuluh tahun ketiga):
Pada tahap ini, telah terbangun jaringan yang kuat, antara duta-duta kita dengan para pemilik modal dan pegawai atasan, diantara mereka juga banyak yang telah masuk dalam barisan militer dan jajaran pemerintahan, yang bekerja dengan penuh ketenangan dan hati-hati, tanpa ikut campur dalam urusan agama, sehingga kepercayaan penguasa lebih meningkat lagi dari sebelumnya.
Pada tahapan ini, di saat berkembangnya perseteruan, perpecahan, dan iklim yang memanas antara penguasa dengan ulama, maka diharuskan kepada sebagian ulama terkemuka syiah yang telah menjadi penduduk negara itu, untuk mensosialisasikan keberpihakan mereka kepada penguasa negara itu, khususnya pada musim-musim ritual keagamaan (syi’ah), sekaligus menampakkan bahwa syi’ah adalah aliran yang tak membahayakan pemerintahan mereka. Apabila situasi memungkinkan mereka untuk bersosialisasi melalui media informasi yang ada, maka janganlah ragu-ragu memanfaatkannya untuk menarik perhatian para penguasa, sehingga mereka senang dan menempatkan kader kita pada jabatan pemerintahan, dengan tanpa ada rasa takut atau cemas dari mereka.
Pada tahapan ini, dengan adanya perubahan yang terjadi di banyak pelabuhan, pulau, dan kota lainnya di negara kita, ditambah dengan devisa perbankan kita yang terus meningkat, kita akan merencanakan langkah-langkah untuk menjatuhkan perekonomian negara-negara tetangga. Tentu saja para pemilik modal dengan alasan keuntungan, keamanan dan stabilitas ekonomi, akan mengirimkan seluruh rekening mereka ke negara kita; dan ketika kita memberikan kebebasan kepada semua orang, dalam menjalankan seluruh kegiatan ekonominya, dan pengelolaan rekening banknya di negara kita, tentunya negara mereka akan menyambut rakyat kita, atau bahkan memberikan kemudahan dalam kerjasama ekonomi.
Tahap Keempat (sepuluh tahun keempat):
Pada tahap ini, telah terhampar di depan kita fenomena; dimana banyak negara yang para penguasa dan ulamanya saling bermusuhan, pebisnis yang hampir bangkrut dan lari, serta masyarakat yang tak aman, sehingga siap menjual hak miliknya dengan separo harga sekalipun, agar mereka bisa pindah ke daerah yang aman.
Di saat terjadinya kegentingan inilah, para duta kita akan menjadi pelindung bagi hukum dan para penguasanya. Apabila para duta itu bekerja dengan sungguh-sungguh, tentunya mereka akan mendapatkan jabatan terpenting dalam pemerintahan dan kemiliteran, sehingga dapat mempersempit jurang pemisah antara para pemilik perusahaan yang ada dengan para penguasa.
Keadaan seperti ini, memungkinkan kita untuk menuduh mereka yang bekerja dengan tulus untuk penguasa sebagai para penghianat negara, dan ini akan menyebabkan diberhentikannya mereka atau bahkan diusir dan diganti dengan kader kita.
Langkah ini akan membuahkan dua keuntungan, pertama: Pengikut kita akan mendapat kepercayaan yang lebih baik dari sebelumnya. Kedua: Kebencian ahlus sunnah akan semakin meningkat, karena meningkatnya kekuatan syi’ah di berbagai instansi negara. Ini akan mendorong ahlus sunnah untuk meningkatkan langkah menentang penguasa. Di saat seperti itu, kader-kader kita harus bersanding membela penguasa, dan mengajak masyarakat untuk berdamai dan tetap tenang. Dan pada saat yang bersamaan, mereka akan membeli kembali rumah dan barang yang semula akan mereka tinggalkan.
Tahap Kelima (sepuluh tahun terakhir):
Pada sepuluh tahun kelima, tentunya iklim dunia telah siap menerima revolusi, karena kita telah mengambil tiga pilar utama dari mereka, yang meliputi: keamanan dan ketenangan dan kenyamanan. Sedangkan pemerintahan yang berkuasa, akan menjadi seperti kapal ditengah badai dan nyaris tenggelam, sehingga menerima semua masukan yang akan menyelamatkan jiwanya.
Di saat seperti ini, kita akan memberikan masukan melalui beberapa tokoh penting dan terkenal, untuk membentuk himpunan rakyat dalam rangka memperbaiki keadaan negara, dan kita akan membantu penguasa untuk mengawasi berbagai instansi dan mengamankan negara. Tak diragukan lagi, tentunya mereka akan menerima usulan itu, sehingga para kader pilihan kita akan mendapatkan hampir keseluruhan kursi di dalamnya. Kenyataan ini tentu akan menyebabkan larinya para pengusaha, ulama dan pegawai setia pemerintahan, sehingga kita akan dapat menggulirkan revolusi islam kita, ke berbagai negara, tanpa menimbulkan peperangan atau pertumpahan darah.
Seandainya, pada sepuluh tahun terakhir, rencana ini tidak membuahkan hasil, kita tetap bisa mengadakan revolusi rakyat dan merebut kekuasaan dari tangan penguasa.
Apabila penganut syi’ah adalah penduduk, penghuni dan rakyat negara itu, maka berarti kita telah menunaikan kewajiban, yang bisa kita pertanggung-jawabkan di depan Allah, agama, dan madzhab kita. Bukan tujuan kita untuk mengantarkan seseorang kepada tampuk pimpinan, tetapi tujuan kita hanyalah menggulirkan revolusi, sehingga kita mampu mengangkat bendera kemenangan agama tuhan ini, dan menampakkan nilai-nilai kita di seluruh negara. Selanjutnya kita mampu maju melawan dunia kafir dengan kekuatan yang lebih besar, dan menghias alam dengan cahaya Islam dan ajaran syi’ah, sampai datangnya imam Mahdi yang dinantikan))
–selesai sudah naskah misi revolusi itu–
Lihatlah wahai para pembaca, betapa busuknya rencana mereka, betapa besarnya kebencian mereka terhadap Ahlus Sunnah. Kita sekarang tahu bahwa Syi’ah bukanlah sekedar aliran paham biasa, akan tetapi ia sekarang berubah menjadi aliran pergerakan politik yang bisa merongrong eksistensi negara. Lihatlah bagaimana mereka merencanakan pengguliran revolusi sedikit demi sedikit, bagaimana mereka menjadikan dutanya sebagai alat penyebar aliran, sekaligus alat politiknya.
Subhanallah, semoga Allah menyelamatkan kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Islam) dari tipu daya mereka.
Allah berfirman (yang artinya): “Mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas dengan tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya…” (Qs Ali Imron: 54)
Semoga tulisan ini bisa menyadarkan mereka yang menyuarakan, perlunya pendekatan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah.
Sungguh mengherankan, adakah yang masih mengharapkan kebaikan dari kaum yang selalu berbohong atas Allah dan Rasul-Nya. Adakah yang masih ingin membangun kerukunan dengan kaum yang meyakini bahwa Al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi. Adakah yang masih mengharapkan bersanding dengan kaum yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman, bahkan seluruh Sahabat Rasul, kecuali tiga saja (Salman al-Farisy, Miqdad dan Abu Dzar). Adakah yang masih berprasangka baik kepada kaum yang menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selama hidupnya telah berzina dengan Aisyah. Adakah Ahlus Sunnah yang masih menganggap baik kaum yang telah membunuh ratusan bahkan ribuan ulama Ahlus Sunnah di Iran dan negara lainnya… Adakah Ahlus Sunnah yang masih toleran dengan kaum yang tidak mengizinkan satu pun masjid Ahlus Sunnah di Teheran Ibu kota Iran. Sungguh tidak pernah habis rasa heran ini melihat kenyataan yang ada di lapangan.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak melihat bukti nyata dari omongan diatas… mungkin ada yang mengatakan bahwa fakta di atas adalah sebatas tuduhan yang tak beralasan. tapi ingatlah bahwa diantara inti ajaran kaum Syi’ah adalah Taqiyyah, yakni: membohongi publik untuk keselamatan diri… ingatlah bahwa bohong semacam itu dalam akidah mereka adalah amalan ibadah yang berpahala… Ingatlah hadits palsu yang selalu mereka gembar-gemborkan: “Tidak punya agama, siapa pun yang tidak menerapkan taqiyyah.”
Ternyata selama ini, kita tidak melihat kejanggalan yang ada pada mereka, disebabkan takiyah (baca: kebohongan) mereka kepada kita. Ternyata selama ini tidak terlihat perbedaan yang mendasar antara kita dan mereka, karena tabir tebal yang mereka gunakan untuk menutupi kebusukan batin. Tapi itulah, sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga… Selincah-lincah kuda berlari pasti akan terpeleset juga… Inilah diantara bukti semerbaknya bau busuk mereka. Alhamdulillah.. awwalan wa aakhiron berkat Allah azza wa jall terbuka juga misi rahasia jangka panjang mereka…
Subhanakallahumma wa bihamdika… wa tabaarakasmuk wa ta’ala jadduk… wa laa ilaaha ghoiruk…
Sumber artikel: http://www.albayan-magazine.com/sereah.htm
Penerjemah: Addariny
Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan beberapa editing

Selasa, 10 Januari 2012

Kisah Seorang Nelayan


Konon, ada seorang nelayan yang ulet dalam bekerja. Sehari mencari ikan, lalu pada hari-hari berikutnya dia memilih tinggal di rumahnya hingga waktu yang Allah kehendaki. Jika persediaan ikannya telah habis, dia segera menuju ke pantai untuk mencari ikan lagi.
Pada suatu hari, ketika istri nelayan itu sedang memotong-motong hasil tangkapan suaminya, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang menakjubkan. Dia melihat dalam perut ikan itu sebuah permata.
"Ada permata dalam perut ikan? Subhanallah! Suamiku... Suamiku! Lihat, apa yang aku dapatkan," serunya keheranan.
"Ada apa?" "Ini ada mutiara! Mutiara dalam perut ikan." "Oh, engkau betul-betul seorang istri yang luar biasa. Bawa ke sini, semoga kita bisa bertahan hidup dengannya hari ini, dan kita bisa makan sesuatu yang lain dari ikan."
Nelayan itu segera mengambil mutiara itu kemudian membawanya ke tetangganya seorang penjual mutiara.
Tetangganya memandangi mutiara itu, lalu berkata, "Sayang sekali saya tidak bisa membelinya. Ooh, ini tidak ternilai harganya! Seandainya saya menjual toko dan rumah saya, itu pun tetap tidak akan mampu mencukupi harganya. Tapi cobalah datangi seorang pedagang besar di kota seberang, siapa tahu dia mampu untuk membelinya dari Anda."
Nelayan itu akhirnya mengambil kembali mutiara itu dan berangkat menemui seorang pedagang besar di kota seberang.
Setibanya di sana, nelayan itu lalu menceritakan kisahnya kepada pedagang itu.
"Allah Akbar! Demi Allah Saudaraku, apa yang Anda miliki ini tidak ternilai harganya. Tapi saya bisa menunjukkan kepada Anda jalan keluarnya. Temuilah penguasa kota ini, karena dialah yang mampu membeli mutiara sejenis ini."
Setibanya di pintu gerbang istana, nelayan itu berhenti, menunggu ijin untuk masuk.
Setelah mendapat ijin masuk, nelayan itu pun menemui penguasa kota.
"Allah Akbar! Mutiara jenis inilah yang aku cari. Aku tidak tahu bagaimana menaksir harganya. Tapi aku akan mempersilakanmu untuk masuk ke gudang perbendaharaan khususku. Engkau boleh tinggal di dalamnya enam jam, dan silakan ambil dari gudang itu apa saja yang kamu inginkan, dan itulah sebagai pengganti harga mutiara."
"Wahai yang mulia, tidak mengapa Anda menjadikannya dua jam saja.Enam jam untuk seorang nelayan seperti saya sudah sangat cukup."
"Tidak! Enam jam itu waktu yang saya berikan untuk kamu mengambil barang-barang apa saja yang kamu inginkan."
Maka masuklah si nelayan ke dalam gudang penguasa kota itu.
Tiba-tiba ia melihat pemandangan yang luar biasa. Sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangan itu terbagi tiga kamar, kamar pertama dipenuhi oleh permata, emas, dan mutiara. Kamar berikutnya terhampar di dalamnya kasur-kasur yang empuk, sekadar memandangnya sekali saja, maka ia akan langsung tertidur dengan pulas. Ruangan terakhir dipenuhi oleh beraneka jenis makanan dan minuman yang sangat digemari.
Nelayan itu bergumam, "Enam jam? Waktu yang sangat panjang untuk seorang nelayan sederhana sepertiku. Apa yang akan aku lakukan selama enam jam itu? Ah, aku akan mencicipi makanan-makanan yang tersedia di kamar tiga terlebih dahulu. Aku akan makan sampai benar-benar kenyang,  agar bisa menambah kekuatanku sehingga memungkinkanku untuk mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya."
Nelayan itu pun bergegas menuju kamar tiga. Di sana, ia menghabiskan waktu dua jam. Makan dan terus makan. Sampai ketika persediaan makanan itu telah ia habiskan, ia pun kembali ke kamar pertama.
Dalam perjalan, pandangannya tertuju ke kasur yang empuk. Ia berkata dalam hati, "Aku telah makan hingga benar-benar kenyang, mengapa aku tidak tidur dulu agar bisa menambah tenaga yang memungkinkanku untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya? Ini kesempatan yang tak akan terulang, menyia-nyiakannya adalah sebuah kebodohan."
Nelayan itu pun menghampiri kasur empuk itu,  lalu berbaring, hingga tertidur dengan sangat pulas.
Waktu berlalu demikian cepat.
"Bangun! Bangun wahai nelayan bodoh! Kesempatanmu sudah habis."
"Hah, apa....?!" 
"Yah, cepat keluar!"
"Saya mohon...... saya akui memang tidak menggunakan kesempatan ini dengan memadai."
"Hah, enam jam lamanya kamu berada dalam gudang harta ini, dan sekarang kamu baru terbangun dari kelalaianmu. Kamu ingin tambahan permata? Bukankah kamu sudah diberi kesempatan untuk mengumpulkan permata-permata ini sampai kamu keluar dari sini, lalu dengannya kamu bisa membeli makanan terlezat dan terbaik. Kamu pun bisa membuat kasur-kasur yang paling mengagumkan dan nyaman? Sayang sekali, kamu ini bodoh dan lalai. Kamu tidak memikirkan kecuali apa yang ada di sekitarmu. Bawa orang ini keluar!"
"Jangan! Jangan! Saya mohon Tuan, saya mohon! Tidaaak!!!
 ________________________________________________
Kisah ini berakhir sampai di sini,tapi pelajaran dan hikmah dari kisah ini belum berakhir.
Menurut Anda, apakah permata itu?
Itulah nyawa Anda. Harta yang tak ternilai harganya. Sayangnya, Anda tidak menyadari betapa besar nilai nyawa Anda.
Lalu apakah gudang harta itu menurut Anda?
Itulah dunia. Lihatlah kebesarannya, dan perhatikan bagaimana kita mengeksploitasinya.
Adapun permata-permata itu, itulah amal-amal shaleh. Dan kasur-kasur empuk itu adalah kelalaian.
Sementara makanan dan minuman-minuman itu melambangkan syahwat.
Dan sekarang, wahai Saudaraku, "Nelayan", kapankah Anda akan terbangun dari tidur Anda, dan meninggalkan kasur-kasur empuk itu, lalu Anda mengumpulkan permata-permata yang berserakan di sekitar Anda, sebelum berakhirnya waktu yang diberikan kepada Anda, yaitu umur Anda, lalu Anda meninggalkan dunia dalam keadaan menyesal. [SQ]
Diterjemahkan dari milis "Alumni Institusi-institusi Pendidikan Tinggi Wahdah Islamiyah" dari artikel kiriman Syaikh Dr. Rusyud—hafizhahullah

Sabtu, 07 Januari 2012

Republik Syiah Indonesia



"Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka." (Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah)
Dalam artikel berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”, Mei 2011, petinggi NU, Kiai As’ad Ali membeberkan sebuah fakta menarik. Menurutnya, dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut Marja al-Taqlid, sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Syiah. Di beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia, lembaga itu telah berdiri kokoh dan memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya, lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani.
Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan beserta konstitusinya, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja al Taqlid ini belum terbentuk, maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum sistematis dan terstruktur.
Kita ketahui bersama Imamah, bagi Syiah, adalah hal yang sangat penting dan luar biasa. Penting bukan saja bagi kekuatan politik, tapi imamah adalah keniscayaan bagi Syiah. Menghilangkan konsep Imamah, sama saja mengamputasi teologi syiah.
Kata Imam memang dimuat dalam narasi Al Qur’an. Setidaknya kata Imam maupun a’immah dijelaskan dalam surah Al Baqarah:124, Al Anbiya: 73, At taubah: 12 dan Al Qashash: 41. Namun menurut Prof. Ali Ahmad Halus, dalam bukunya Ensiklopedi Sunnah Syiah, menyatakan tidak satupun redaksi ayat Al Qur’an yang mengetengahkan kata imamah, lebih-lebih Imamah dalam konsep Syiah dimana keduabelas Imam adalah manusia-manusia ma’sum. Hal ini semakin menegaskan bahwa konsep imamah memang genuine dimiliki Syiah yang sangat berbeda dengan konsep Khilafah milik umat Islam.
Kesiapan kelompok Syiah di Indonesia untuk menyambut imamah tampaknya menemui kebenaran. Desember lalu seperti ramai diberitakan media, sedikitnya 8.000 umat Syiah di Jakarta menghadiri peringatan Hari Asyura di Puri Garini, Halim Perdana Kusumah, Jakarta Timur, dengan tema "Dengan Gerap Langkah Imam Husein Kita Perkuat Persatuan Bangsa dan Umat.
Tidak hanya di Jakarta, peringatan hari Asy Syura juga merata dilaksanakan di tiap-tiap daerah. Di Kalimantan Timur, misalnya, hari Asy Syura berlangsung di Gedung Pramuka Jalan M. Yamin Belakang Mall Lembuswana Samarinda Kaltim dan menghadirkan sejumlah da’i diantataranya Ahmad Baragbah (Pekalongan Jateng) dan Moh. Zen Alatas sebagai pembaca Maktam.
Kabarnya, peringatan Asyura ini dilaksanakan oleh Yayasan Almuntazar Duabelas bekerjasama dengan sejumlah yayasan-yayasan di Kalimantan Timur seperti Yayasan Al-Qo’im Kaltim, Yayazan Az-Zahra Balikpapan, Yayasan Ghipari Tenggarong, YAPIB Penajam Paser Utara, dan Yayasan Gerbang Ilmu Sangata.
Sementara itu di Sumatera Selatan, peringatan Asyura dilaksanakan Gedung Wanita Sriwijaya Jalan Rajawali Palembang. Dan syiar Syiah di Indonesia terus membentang dari Medan, Padang, Bengkulu, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan kota-kota besar lainnya.
Terlepas dari klaim para penggiat Syiah bahwa mereka berhasil mendatangkan ribuan massa menyambut hari Asysyura. Namun keberadaan Syiah di Indonesia memang bukan isapan jempol semata.
Sejak pecahnya Revolusi Syiah di Iran, telah terjadi ekspansi besar-besaran kelompok Syiah ke Indonesia. Sebab banyak orang tertipu, bahwa Iran telah berhasil menjalankan Revolusi Islam hingga menempatkan nama Iran sebagai role model Republik Islam di dunia. Padahal sejatinya, Revolusi yang terjadi di Iran, tidak lebih dari Revolusi Syiah.
Dalam buku berbahasa Arab berjudul “Al-Masyru’ Al Irani Ash-Shafawi”, kita bisa memetik pelajaran bagaimana strategi kaum Syi’ah dalam melakukan ekspansi Revolusi Syiah untuk diletuskan ke berbagai Negara Muslim. Setidaknya ada lima tahapan yang akan dimainkan Syiah hingga betul-betul menguasai suatu negara.
Fase pertama adalah fase perintisan dan perawatan akar. Jika kita bicara dalam ranah Indonesia, hal ini sudah mereka lakukan dengan ekspansi Syiah ke kampus-kampus periode 80-an dimana UI dan Unpad menjadi basisnya.
Kedua adalah fase penjajakan. Dalam konteks ini gerombolan Syiah Bekerja dengan cara tetap berkamuflase pada koridor hukum Negara yang berlaku sekedar formalitas dan tidak berani melanggarnya, lalu berusaha masuk ke fasilitas keamanan dan institusi pemerintah secara perlahan tapi pasti, hingga berupaya mendapatkan surat kewarganegaraan untuk para imigran Syi’ah.
Namun dalam konteks Indonesia, kita ketahui sudah banyak para ulama Iran datang ke Indonesia. Mereka biasanya bicara di kampus-kampus seperti ICAS dan UIN Jakarta. Bahkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah berdiri Iranian Corner.
Ketiga, fase start up, yakni merekatkan hubungan antara Pemerintah dengan para imigran agen Syi’ah, memperdalam penetrasi ke pusat-pusat pemerintah, mendorong untuk merelokasi dana-dana Sunni ke Iran untuk mewujudkan mitra kerja, setelah mampu menguasai mereka menekan ekonominya.
Seperti dilansir islamtimes.org, Pejabat Senior Kedutaan Besar Indonesia di Tehran, Iran dan Indonesia berencana untuk mendirikan bank gabungan swasta untuk memfasilitasi perdagangan bilateral.
Dalam forum ekonomi Indonesia di Kamar Dagang Iran, Industri dan Pertambangan (ICCIM ), Kuasa Usaha Kedutaan Besar Indonesia di Tehran Aji Setiawan, mengatakan bahwa Pembentukan bank swasta di kedua negara akan membantu menghilangkan hambatan perdagangan. Aji Setiawan juga mengundang sektor swasta Iran untuk hadir di Indonesia Trade Expo 26, yang diselenggarakan pada tanggal 19-23 Oktober 2011.
Dalam acara yang sama, Sekretaris Jenderal ICCIM, Hamid Mossaddeqi, menambahkan bahwa perdagangan antara Iran dan Indonesia mencapai USD 1,290 miliar tahun lalu. Angka tersebut meliputi $ 590 juta dari ekspor dan USD 639.juta pada impor.
Keempat, masa pembuahan, yakni mengakses ruang-ruang pemerintah yang sensitif, membeli banyak tanah dan properti, menyulut emosi rakyat Sunni terhadap pemerintah karena semakin bertambahnya hegemoni kaum asing Syi’ah. Metode ini mereka mainkan dalam kasus Sampang kemarin, hingga membentuk opini mereka benar-benar adalah korban.
Kita juga jangan lupa bahwa saat ini beberapa nama Tokoh Syiah sudah masuk ke lini pemerintahan. Prof. Baharun, pengamat gerakan Syiah, mengatakan tidak sedikit para tokoh Syiah yang kini telah menjadi anggota dewan.
Dan kelima adalah pematangan. Inilah puncak dari segala puncak. semua kejadian yang sampai pada klimaksnya, maka terjadi kekacauan besar dalam negeri, dan Negara kehilangan faktor-faktor stabilitasnya (keamanan dan ekonomi), sehingga dengan kekacauan ini mereka bisa masuk dan mengusulkan pembentukan dewan perwakilan rakyat baru, yang bisa mereka setir, mereka mengajukan jasa sukarela untuk membantu pemerintah dalam rangka menstabilkan kondisi dalam negeri, dengan menguasai sendi-sendi penting kepemerintahan, hingga mereka bisa merealisasikan target “Ekspor Revolusi Iran” dengan desain yang rapi. Dan jika cara itu tidak tercapai mereka gunakan cara lain yang telah terdesain sebelumnya yaitu memprovokasi rakyat untuk melakukan revolusi, setelah itu mereka mencuri kekuasaan dari tangan pemerintah.
Dan melihat keempat faktor diatas yang telah ‘berhasil’ dijalankan, bukan tidak mungkin bahwa Syiah hanya menunggu fase kelima untuk diletupkan. Dan menilik pernyataan Kyai As’ad bahwa kelompok Syiah di Indonesia sudah mengembangkan sayap militer, bukan tidak mungkin pula, kedepan dengan Revolusi, Indonesia akan menyusul Iran, untuk menjadi Republik Syiah Indonesia. Sekali lagi, Republik Syiah bukan Islam.

Rabu, 04 Januari 2012

Pengukuhan Pengurus Baru Wahdah Islamiyah Pusat



         Pengurus Baru Wahdah Islamiyah pasca Muktamar II periode 1433 H-1437 H/2011-2015
telah terbentuk dan dikukuhkan secara resmi oleh Pimpinan Umum Wahdah Islamiyah (WI) Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, MA, Ahad 1 Januari 2012 di gedung Lan Antang Makassar. Acara pengukuhan ini dirangkaikan dengan Tabligh Akbar dari Pimpinan Umum WI terpilih.

Dari hasil Muktamar bulan Desember lalu telah dihasilkan beberapa pimpinan yang dipilih oleh peserta muktamar. Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin terpilih secara aklamasi menjadi Pimpinan Umum Wahdah Islamiyah. Jabatan Pimpinan Umum ini merupakan posisi baru di organisasi yang merupakan pimpinan tertinggi di Wahdah Islamiyah yang membawahi jabatan Ketua Umum.

Sekjend baru WI Ustadz Iskandar Kato, M.Si yang menggantikan Ustadz Qasim Saguni, yang sekarang menjabat Ketua Dewan Syuro, membacakan SK Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah Periode 1433 H-1437 H/2011-2015 M yang dilanjutkan dengan pengukuhan Pengurus Baru.

Pengukuhan pengurus baru ini dihadiri oleh Walikota Makassar Ir.H.Ilham Arief Sirajuddin, MM. Dalam sambutannya, Walikota berharap agar kiranya program-program kerja dari pengurus baru dapat disinergikan dengan program Pemerintah Kota Makassar dan nantinya dapat menjadikan Makassar sebagai Serambi Madinah, sebagaimana Aceh yang sudah dikenal sebagai Serambi Mekkah. Di akhir acara pengukuhan, Walikota bersama Pimpinan Umum WI menyalami satu per satu dari pengurus baru terpilih yang tampil di depan peserta.

Pimpinan Umum WI Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin dalam taujihat Tabligh Akbarnya memesankan kepada pengurus baru yang terpilih memiliki semangat yang baru  untuk melakukan kerja-kerja untuk ummat dan terus melakukan pengembangan diri, peningkatan kualitas Iman dan Akhlak. Ketua Umum juga sangat menekankan kepada para aktivis dakwah ini agar tidak melupakan melakukan pembinaan terhadap keluarga terdekat. Selain itu, Pimpinan Umum pada kesempatan tersebut mengingatkan akan pentingnya pengorganisasian lembaga, upaya pengembangan finansial untuk dakwah dan pemanfatan maksimal teknologi dalam dakwah dan upaya mengantisipasi dampaknya.

Unsur Pimpinan lainnya yang terpilih dalam Muktamar adalah Ustadz Qasim Saguni, MA sebagai Ketua Dewan Syuro. Ustadz Rahmat Abdurahman, MA  sebagai Ketua Dewan Syariah, Ustadz DR.Hamid Habbe sebagai Ketua Dewan Pemeriksa Keuangan (DPK). Ustadz Muhammad Ikhwan Abd.Jalil, Lc sebagai Wakil Ketua Umum,dan Ustadz Arifin Abd.Hamid, SE sebagai Bendahara Umum  (*) Dokumentasi: Dok.1, Dok.2, Dok.3

Adapun susunan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah yang baru :
SUSUNAN PENGURUS PUSAT WAHDAH ISLAMIYAH
PERIODE 1433 – 1437 H / 2012 -2015 M

A.    DEWAN SYURO WAHDAH ISLAMIYAH
Ketua                    : Muh. Qasim Saguni
Wakil Ketua         : Hizbullah Mahdin
Sekretaris            : Muh. Nusran


B.    DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH
Ketua                 : Rahmat Abd. Rahman
Wakil Ketua      : Bahrun Nida M. Amin
Sekretaris         : Muh. Ihsan Zainuddin

C.  DEWAN PENGAWAS KEUANGAN WAHDAH ISLAMIYAH
Ketua                  : Abd. Hamid Habbe
Wakil Ketua       : Muh. Rum Muin
Sekretaris          : Nur Alamsyah


D.   DEWAN PIMPINAN PUSAT WAHDAH ISLAMIYAH

PENGURUS HARIAN
1.    Ketua Umum DPP     : Muh. Zaitun Rasmin
2.    Wakil Ketua Umum    : Muh. Ikhwan Jalil
3.    Sekjen                          : Iskandar Kato
4.    Waka Sekjen              : Saiful Bahri
5.    Bendahara                  : Muh. Arifin
6.    Waka Bendahara       : Yasser Arafat
7.    Kabid I                         : Nasruddin Paloncengi
8.    Kabid II                        : Muh. Yani Abd Karim
9.    Kabid III                       : Jamain Rusman
10.    Kabid IV                    : Saiful Bahri


DEPARTEMEN, LEMBAGA DAN BIRO
11.    Kadep Kaderisasi                                                                 : Syamsuddin Kurru
12.    Kadep Dakwah                                                                     : Syaibani Mujiono
13.    Kadep Pengembangan Daerah                                         : Sabaruddin Syamsir
14.    Ketua Lembaga Pernikahan dan
         Pembinaan Keluarga Sakinah                                           : Idris Parakkasi
15.    Kadep Pendidikan                                                               : Darmi M Yusuf
16.    Ketua Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI)  : Nursalam Sirajuddin
17.    Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengembangan
         Pendidikan Al-Qur’an (LP3Q)                                             : Qomari
18.    Ketua Badan Pembinaan dan Pengembangan
         Tilawatul Qur’an (BP2TQ)                                                   : Harman Tajang
19.    Kadep Infokom                                                                      : Anwar Aras
20.    Kadep Sosial                                                                         : Hasta Ahmad
21.    Kadep Kesehatan                                                                 : Abd Hakim
22.    Kadep Lingkungan Hidup                                                   : Muh. Yusran
23.    Ketua Lembaga Perencanaan dan Pengawasan
         Pembangunan (LP3)                                                            : Musri Madung
24.    Kadep Pengembangan Usaha                                           : Rusmin Latif
25.    Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq dan
          Shadaqah (LAZIS)                                                               : Khaerul Makkarateng
26.    Ketua Biro Administrasi Umum                                          : Akbar Muhammadiah
27.    Ketua Biro Hukum dan Wakaf                                            : Irwan Hasbi
28.    Ketua Biro Umum                                                                 : Ismail Zainuddin
29.    Ketua Biro Keamanan                                                         : Tajuddin Dg Tarru
30.    Ketua Biro Data                                                                    : Ismail Pandu
 

Minggu, 01 Januari 2012

Kerusakan Dalam Setiap Perayaan Tahun baru


.
           Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun.
Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.
Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni.
Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.
Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan.
Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah.
Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.
Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya.
Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan.
Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia.
Maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia.
Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan).
Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru.
Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia.
Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Artikel www.muslim.or.id
[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.

 
Jl. KH. Abdul Kadir Daud No. 22 Kota Palopo | Telp. (0471) 3334334 | Email: ikhwahpalopo@gmail.com